Perjalanan hidup mereka (Para Rasul) dalam pelayanan berdiri
kepada kesaksian tentang Kristus, Mesias Israel dan Juruselamat dunia. Melalui
Para Rasul telah memilih untuk mengambil Yerusalem sebagai titik fokus
penebusan-historis, yang memungkinkan dalam mendapatkan pandangan Injil, karena
diproklamasikan dan diteruskan selama periode apostolik[1]
Penelitian terhadap informasi geografis dan topografi yang
diberikan dalam Kitab Kisah Para Rasul, judul pribadi, dan rincian lainnya
semakin menegaskan, setelah beberapa skeptisisme awal, bahwa Lukas dengan susah
payah melakukan pekerjaan ini dengan hati-hati. Ia memiliki gaya sunting wacana para rasul, namun
tanpa merugikan keaslian konten mereka. Dengan demikian, Lukas mengikuti
memimpin dari sejarawan Yunani Thucydides
(dengan karya catatannya tentang Perang Peloponnesia), menetapkan
standar penulisan historiografi.[2]
Dalam Kitab Kisah Para Rasul diceritakan mengenai kehidupan
jemaat sehari-hari. Melalui dua ikhtisar yang singkat, hidup orang Kristen
pertama digambarkan. Salah satu ikhtisar itu
terdapat dalam (Kisah Para Rasul 4:32). Gambaran yang diberikan Lukas
(penulis Kisah Para Rasul) ini, tidak dapat dipakai begitu saja sebagai
informasi historis. Gambaran ini adalah gagasan Lukas, yang menggambarkan kehidupan jemaat yang seharusnya. Agaknya
Lukas telah memperkembangkan suatu peristiwa yang khusus, seperti Barnabas yang
menyumbangkan miliknya itu, menjadi suatu gambaran jemaat purba secara umum.
Mungkin kehidupan sebenarnya dari jemaat purba kurang sesuai dengan gambaran
ideal ini.
Seperti nampak dari
cerita mengenai Ananias dan Safira (Kis 5:11), maka penyerahan segala milik
bukanlah perbuatan yang biasa. Malahan Petrus menekankan bahwa mereka berhak
memanfaatkan hasilnya sesuai dengan kehendak mereka (ay. 4). Wycliffe menafsirkan
pada (ayat 32-37) berisi suatu ringkasan yang lain tentang sifat persekutuan
Kristen yang mula-mula itu yang serupa dengan yang terdapat di dalam (Kis 2:42-47).
Salah satu ciri khas yang menonjol dari gereja yang dipenuhi Roh ini ialah
kesatuan, suatu rasa bersatu yang termanifestasikan dalam saling membagi
kekayaan materi.[3]
Dalam Perjanjian Baru sikap tradisi dapat terlihat dua kali lipat, yaitu
penolakan terhadap tradisi tua-tua Yahudi dan bersama-sama dengan tradisi
manusia lainnya (Mt. 15:1-9; Mk. 7:1-13; Gal. 1:11-17; Kol. 2:8.). Pada saat
yang sama terdapat tradisi apostolik
baik oleh iman Kristen seperti yang diproklamasikan dan yang ditularkan oleh
para rasul dan rekan-rekan mereka (1 Kor. 11:2,23; 15:3; 2 Tes. 2:15; 3:6; 2
Tim. 2:1).[4]
Tradisi Gereja selama Apostolic Age
adalah masalah yang sangat penting karena sebagian besar dari ritual Kristen tergantung pada tradisi ini.
Tradisi Apostolic meliputi hidup para Rasul, melihat, menyaksikan dan
kemudian dicatat dalam kitab-kitab Perjanjian Baru. Para uskup dan penatua,
Rasul siapa ditunjuk sebagai penerus mereka, mengikuti ajaran mereka.[5]
[1] James D.G.
Dunn, Beginning from Jerusalem (Grand
Rapids: Eerdmans, 2009)
[2] Armin
Daniel Baum, Pseudepigraphie und
literarische Fälschung im frühen Christentum (Tübingen: Mohr Siebeck,
2001). Thucydides (lahir 460 SM – wafat 395 SM) adalah seorang sejarawan Yunani
dan penulis dari alimos sebuah daerah di wilayah Yunani. Bukunya yang berjudul
Sejarah Perang Peloponnesia (The History of Peloponnesian War) menceritakan
perang abad 5 sebelum masehi antara Sparta dan Athena. Melalui bukunya
tersebut, Thucydides telah dijuluki bapak “sejarah ilmiah”, karena standar yang
ketat tentang bukti pengumpulan dan analisis dalam hal sebab dan akibat tanpa
mengacu pada intervensi oleh para dewa, seperti buku-buku sejarah lainnya dari
era yang sama. Sebagai seorang
teoretikus realisme dalam HI (Hubungan Internasional), Thucydides memberikan
empat kategori mengenai realisme.
(1) Sifat manusia adalah titik awal untuk realisme
dalam hubungan internasional. Realis melihat manusia sebagai dasarnya egois dan
mementingkan diri sendiri sejauh kepentingan pribadi mengatasi prinsip-prinsip
moral. (2) Kaum Realis secara umum percaya bahwa tidak ada pemerintah dan
kondisi hubungan internasional selalu dalam kondisi anarkis, (3) Karena kondisi hubungan internasional selalu
dalam kondisi anarkis, untuk mencapai keamanan, negara berusaha meningkatkan
kekuasaan mereka dan terlibat dalam kekuasaan-balancing untuk tujuan
menghalangi agresor potensial. Perang ini dilancarkan untuk mencegah negara
peserta dari menjadi lebih kuat secara militer
(4) Realis umumnya skeptis tentang relevansi moralitas dalam politik
internasional. Hal ini menyebabkan mereka mengklaim bahwa tidak ada tempat bagi
moralitas dalam hubungan internasional, atau bila ada ketegangan antara
tuntutan moralitas dan tuntuan aksi politik yang amoral maka negara boleh
bertindak sesuau dengan moralitas mereka sendiri yang berbeda dari moralitas
yang secara umum dianut.
[4] A.N.S.
Lane, “Scripture, Tradition and Church: An Historical Survey,” Vox Evangelica 9
(1975): 37-55.
Post a Comment