BREAKING NEWS

Saturday, April 11, 2015

Sistem Pemerintahan Gereja




Sistem pemerintahan gereja, secara umum, dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu kongregasional (congregational), episkopal (episcopal) dan presbiterian (prebyterian). Namun dalam prakteknya ada beberapa bentuk variasi penggabungan dari sistem-sistem yang ada.
Nama episkopal berasal dari kata Yunani episkopos yang berarti “overseer atau penilik” (kata ini juga diterjemahkan menjadi bishop dan uskup) dan menyatakan bahwa gereja diatur dan dipimpin oleh (para) bishop. Bentuk konkret dari sistem pemerintahan gereja ini agak berbeda pada beberapa gereja. Misalnya dalam gereja Methodist dan Lutheran, gereja dipimpin oleh seorang bishop yang menjadi pemimpin tunggal atas seluruh gereja-gereja lokal ada. Denominasi atau  sinode atau gereja yang lain mempunyai bishop yang berbeda. Struktur yang lebih kompleks terdapat dalam gereja Anglikan dan gereja Katolik Roma. Seluruh gereja Roma Katolik dibawah pimpinan seorang Paus namun masih memiliki sistem keuskupan dalam wilayah-wilayah tertentu.

Dalam sistem pemerintahan gereja episkopal, otoritas dan kewenangan terletak pada bishop yang mengawasi sekelompok gereja, bukan hanya satu gereja lokal. Bishop adalah orang yang memiliki otoritas yang untuk menahbiskan ministers atau imam (priest). Katolik Roma mengatakan bahwa kewenangan bishop ini diperoleh melalui suksesi apostolik dari rasul-rasul pertama. Jadi kuasa itu dilanjutkan secara estafet oleh bishop berdasarkan (Matius 16:18-19). Gereja Methodis dan Lutheran tidak mengakui otoritas melalui suksesi apostolik seperti Katolik. Sistem suksesi apostolik muncul pada abad kedua dan para penganutnya mengklaim dukungan Alkitabiah dari posisi Yakobus di gereja Yerusalem dan sesuai dengan pernyataan Paulus dalam suratnya kepada Timotius dan Titus mengenai posisi dan otoritas mereka dalam mengangkat penatua.

Sistem kongregasional ini dapat disebut sebagai sistem independen karena sistem ini menegaskan bahwa “setiap gereja lokal adalah suatu badan lengkap, yang tidak tergantung dengan badan lain, bahkan tidak memiliki hubungan pemerintahan dengan gereja yang lain. Dalam sistem ini, kekuasaan gereja sepenuhnya berada pada anggota Jemaat, yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dirinya sendiri secara independen dan penuh.” Otoritas pemerintahan gereja tidak terletak pada individu maupun perwakilan individu melainkan seluruh jemaat lokal. Dua hal yang sangat ditekankan oleh sistem pemerintahan gereja ini adalah otonomi dan demokrasi. Para pelayan gereja (pejabat gereja) adalah jabatan fungsional untuk melayani Firman, mengajar dan melaksanakan urusan gereja semata-mata. Apabila ada komunikasi yang dikehendaki oleh gereja sejenis, maka mereka menyelesaikannya dengan mengadakan konsili, yang hanya mengeluarkan “pernyataan” yang tidak mengikat satu dengan yang lainnya. Tidak ada otoritas di luar gereja lokal, meskipun dalam satu nama gereja, yang memiliki wewenang atau pengaruh terhadap gereja lokal tersebut sebab pemerintahan gereja bersifat demokratis dari jemaat lokal tersebut. Sehingga setiap anggota jemaat turut membuat keputusan dan memerintah gereja. Konsep ini lahir dari pernyataan Alkitab yang mengatakan bahwa setiap orang percaya adalah imamat yang rajani (1 Pet 2:9). Denominasi yang menganut sistem pemerintahan ini adalah Baptis, Evangelical Free, Congregational dan sebagian Lutheran.
Dukungan alkitabiah bagi sistem pemerintahan kongregasional adalah catatan Lukas yang menyebutkan bahwa jemaat itu terlibat dalam pemilihan itu diaken (Kis 6:3-5) dan para penatua (Kis. 14:23); seluruh jemaat turut mengutus Barnabas (Kis 11:22) dan Titus (2 Kor 8:19) serta menerima Paulus dan Barnabas (Kis 14:27; 15:4); seluruh jemaat terlibat dalam keputusan-keputusan tentang sunat (Kis 15:25); disiplin dilakukan oleh seluruh gereja ( 1 Kor 5:12;. 2 Kor. 2:6-7, 2 Tes. 3:14); semua orang percaya bertanggung jawab untuk doktrin yang benar dengan menguji roh (1 Yoh. 4:1) sebab mereka bisa melakukan hal-hal itu karena mereka memiliki pengurapan (1 Yoh. 2:20).

Istilah presbiterian berasal dari kata Yunani presbuteros yang berarti “penatua.” Dalam pemerintahan gereja sistem presbiterian ini, setiap gereja lokal adalah independen satu dengan dan dari yang lain, tetapi mereka diikat oleh suatu “ketentuan normatif yang sama dan pengakuan iman yang sama.” Sistem ini menegaskan bahwa setiap Jemaat dapat melakukan pelayanannya sendiri yang dipimpin oleh pendetanya, termasuk memanggil pendeta yang dikehendakinya yang diteguhkan oleh presbiteri yang terdiri dari pendeta dan penatua yang mewakili gereja-gereja lokal. John Calvin, sebagai tokoh yang merumuskan sistem ini mengakui adanya jabatan-jabatan gerejawi seperti para “gembala (pendeta), guru, diaken (the deacon) dan penatua (the presbyter atau the elder). Dalam sistem ini gereja dipimpin oleh para penatua. Perbedaan yang mencolok dengan sistem Kongregasional adalah Presbiterian menekankan perwakilan jemaat yakni para penatua yang diangkat atau dipilih oleh jemaat. Jadi otoritas tertinggi dalam satu gereja lokal adalah kemajelisan penatua dan satu majelis penatua memimpin satu gereja lokal. Di atas majelis penatua terdapat sinode dan di atas sinode terdapat konferensi umum sebagai sidang tertingi. Majelis penatua ini adalah gabungan antara minister dan orang awam.[1]

Share this:

Post a Comment

Contact Form

Name

Email *

Message *

 
Back To Top
Distributed By Blogger Templates | Designed By OddThemes