BREAKING NEWS

Friday, April 10, 2015

Sejarah Gereja Di Indonesia



Bukti arkeologi tentang keberadaan komunitas Kristen di Asia Tenggara, mungkin Nestorian, di Semenanjung Melayu, Sumatera dan Jawa dapat ditelusuri kembali ke abad ketujuh.[1] Agama Kristen pertama kali datang ke Indonesia pada abad ke-7. Melalui Gereja Asiria (Gereja Timur)[2]. Selama penjajahan Portugis pada abad keenam belas, dan juga pada awal pemerintahan Belanda pada abad ketujuh belas, mayoritas dari mereka yang kemudian ingin menjadi orang Indonesia dipraktekkan agama tradisional mereka. Hindu menang di Bali dan banyak bagian di Jawa; modern, yang berorientasi perdagangan kepangeranan - terutama mereka yang berada di daerah pesisir memiliki adaptasi Islam sebagai sistem aturan sosial dan keagamaan yang memadai. Dominikan, Jesuit, dan berbagai masyarakat misionaris Protestan mulai menyebarkan iman Kristen di antara para penganut agama-agama pribumi. Hal ini secara eksplisit juga melayani tujuan membendung pengaruh Islam. Flores Timur dan kepulauan yang menjadi Katolik,[3] sebagian besar Maluku, Minahasa, dan wilayah Batak Protestan berubah. konsep masyarakat. Pengambil keputusan kolonial tahu bahwa para pemimpin Muslim yang memusuhi mereka, dan mereka menyadari potensi anti-kolonial yang kuat dari Islam.[4]
Hubungan antara pemerintah kolonial dan masyarakat misionaris berjalan dengan baik yang  ditandai oleh kepentingan divergensi (penyebaran) dan konvergensi (pemusatan). Untuk menghindari masalah dengan umat Islam Indonesia, kegiatan penginjilan dikontrol dan diatur dengan ketat. Masyarakat membutuhkan izin misionaris khusus yang dalam setiap kasus hanya berlaku untuk wilayah yang ditunjuk khusus.[5]
Sebagian terbesar dari Gereja-gereja di Indonesia yang lahir dan tumbuh antara 1930-1942 mewarisi corak Kekristenan dari "induknya", yaitu corak Kekristenan kontinental. Mereka ini pada satu pihak masih dipengaruhi oleh corak Kekristenan dari "induknya" dan pada pihak lain telah belajar dan berusaha untuk menentukan corak Kekristenannya sendiri. Gereja Protestan di Indonesia dipengaruhi oleh kebiasaan gereja-gereja di Belanda, kombinasi votum dan salam adalah kebiasaan yang diambil alih dari gereja-gereja di Nederland.[6]
Satu abad setelah orang-orang Portugis, orang-orang Belanda datang ke Indonesia. Mereka adalah orang-orang Kristen juga, tetapi dengan cara percaya yang lain, karena mereka telah menjadi pengikut Reformasi, khususnya Reformasi Calvin. Orang-orang Protestan itu mempunyai organisasi gereja, ibadah dan ajaran yang jauh berbeda dari yang terdapat dalam Gereja Katolik-Roma. Tidak ada lagi hirarki dalam gereja. Alkitab harus disebarkan seluas mungkin dalam bahasa yang bisa dimengerti orang, dan penafsirannya dalam khotbah merupakan salah satu bagian ibadah yang terpenting. Ibadah tak usah seragam di mana-mana. Negara tidak berada di bawah gereja, tidak juga di atasnya, tetapi di sampingnya, dan keduanya harus bekerja sama demi kemajuan kerajaan Allah. Namun demikian, dalam kehidupan bangsa-bangsa Protestan cara-cara lama masih berpengaruh. Kecenderungan untuk berpikir menurut kerangka hirarkis tidak begitu mudah hilang dari gereja. Lagi pula orang-orang Belanda pun berpendapat bahwa gereja mereka mempunyai bentuk yang paling baik, sehingga lebih aman kalau diikuti saja oleh orang-orang lain. Sikap-sikap ini akan paling menonjol di daerah-daerah jajahan.[7] Kesejarahan tersebut dilengkapi oleh keterangan dari Dr Kruger yang dikutip sebagai berikut:
“Tidaklah perlu diuraikan lebih landjut, bahwa pada zaman ini VOC Geredja di Belandalah jang merupakan ibu-geredja bagi Geredja di Indonesia. Memang sebenarnja ia tak berkewibawaan apapun atas Geredja di Indonesia itu. Sudah kita lihat bahwa pemerintah VOC sama sekali tak meluaskannja dan hampir-hampir tak memberikan suatu kebebasan jang sesungguhnja kepada Geredja di Indonesia. Mereka djuga tidak banjak memperdulikan protes-protes serta peringatan-peringatan jang dikeluarkan oleh synode-synode propinsi di Belanda, jang sekali-sekali mengeluarkan suaranja jang tegas. Tambahan pula, VOC-lah jang menanggung segala ongkos pengeluaran Geredja dan djuga tak mengizinkan bahwa oleh pihak lain, misalnja oleh "ibu-geredja", disediakan wang bagi Geredja di Indonesia. Segala-galanja harus datang dari pihak pemerintah, ja sebenarnjalah ia ingin berkuasa atas segala hal. Namun demikian besar djuga pengaruh rohani dari Geredja di Belanda. Bentuk-bentuk organisasinja, dasar-dasar pengakuan imannja, ketentuan-ketentuan siasat geredjanja, tjorak-tjorak kehidupan geredjanja, dengan sendirinja mendjadi djuga tjontoh dan ukuran di Indonesia. Dan pengaruh ini berlaku seberapa hal itu sesuai dengan maksud-maksud pemerintah serta didalam keadaan-keadaan jang memungkinkannja di Indonesia. Orang tidak menghendaki apapun melainkan supaja Geredja di Indonesia ini dibangun "sesuai dengan aturan djemaat gereformeerd (menurut adjaran Calvin) ditanah air", sebagaimana dinjatakan oleh wakil pemerintah pada sidang am pertama di Djakarta tahun 1642.”[8]
Ketika bangsa Belanda berhasil mendesak bangsa Portugis untuk meninggalkan Indonesia pada sekitar tahun 1600 M, maka pengaruh agama Katolik pun segera digantikan oleh pengaruh agama Protestan. Namun demikian, sikap bangsa Belanda yang lebih lunak di dalam soal agama jika dibandingkan dengan bangsa Portugis, telah mengakibatkan pengaruh agama Proterstan hanya mampu memasuki daerah-daerah yang sebelumnya. [9]
Setelah Indonesia merdeka, yaitu setelah 1945, corak Kekristenan di antara gereja-gereja di Indonesia semakin bertambah banyak. Hal itu terutama disebabkan oleh berdirinya beberapa gereja akibat meluasnya denominasi-denominasi jenis kebangunan atau Injili yang datang dari negara-negara Anglosaksis (negara-negeara yang berbahasa Inggris). Sehubungan dengan itu tidak mengherankan bila kemudian lahir dan tumbuh banyak Gereja, misalnya gereja-gereja rumpun Pentakosta dan gereja-gereja rumpun Kemah Injil.[10]
Ketika Indonesia telah merdeka, orang-orang Kristen pada awalnya khawatir bahwa kondisi untuk kegiatan misionaris mereka mungkin memburuk, terutama karena adanya pengulangan panggilan untuk larangan penyebaran agama Kristen. Namun, situasi ini tidak berubah setelah penjajahan telah berakhir. Wendelin Waver (1974: 211) telah menunjukkan kondisi bahwa konstitusi Indonesia sebenarnya diciptakan yang jauh lebih menguntungkan bagi masyarakat misionaris Kristen daripada di zaman kolonial. Afiliasi dengan agama monoteistik dunia yang ditetapkan dalam filsafat negara Indonesia dan wajib bagi setiap warga negara Indonesia. Siapa yang tidak mematuhi salah satu dari agama-agama ini kemungkinan akan dicurigai sebagai seorang ateis. Namun, seperti ateisme dipandang sebagai identik dengan komunisme, yang telah menjadi musuh publik nomor satu sejak kudeta komunis pada tahun 1965.[11]



[1]  Bargil Pixner, Wege des Messias und Stätten der Urkirche. Herausgegeben von Rainer Riesner (Giessen/Basel: Brunnen Verlag, 1991), 287-326; Jerome Murphy-O’Connor, “The Cenacle–Topographical Setting for Acts 2:44-45.” In The Book of Acts in Its First-Century Setting. Volume 4: Palestinian Setting, ed. Richard Bauckham (Grand Rapids: Eerdmans, 1995), 303-321; Bradley Blue, “Acts and the House Church.” In The Book of Acts in Its First-Century Setting. Volume 2: GraecoRoman Setting, eds. David  W.J. Gill and Conrad Gempf (Grand Rapids: Eerdmans, 1994), 119-222 [134]

[3] Sejarah agama Katolik di Indonesia telah diterbitkan oleh Muskens (1970, 1973, 1974, 1979) dan Steenbrink (2003); Müller-Kruger (1957, 1966) dan Hoekema (1994, 2001) menulis mengenai Protestan. Sebuah sejarah umum Kristen dan Islam telah ditulis oleh Waver (1974); Studi daerah telah diberikan atau disumbang oleh beberapa penulis. Beberapa  dari mereka adalah  Aritonang (1988) menulis pada proses penyebaran agama antara Batak, Dietrich (1989, 1994) dari Flores, Henley (1996) dari Minahasa, Witschi (1942) pada Dayak Kalimantan dan Smith Kipp-(1990, 1995) di Karo (-Batak).
5 Hal ini terutama berlaku untuk Katolik yang tiba dengan Portugis pada abad keenam belas.

[4]  Gerakan Islam anti-kolonial bahkan menggunakan metafora dari Perang Suci. Untuk Aceh lihat Teuku Ibrahim Alfian (2006), West-Sumatra lihat Taufik Abdullah (1989) dan Young (1994). Alfian (1994) telah menulis tentang gerakan Islam Muhammadiyah di bawah pemerintahan kolonial dan Steenbrink (1993) berfokus pada hubungan antara kolonialisme Belanda dan Islam.

[5]  Inilah sebabnya mengapa Flores, misalnya, menjadi daerah misi murni Katolik, sedangkan wilayah Batak di Sumatera secara eksklusif ditugaskan untuk misionaris Protestan.

[6] Abineno, J.L.C.H, “Unsur-unsur Liturgia Yang Dipakai Gereja-gereja Di Indonesia” (Jakarta: Gunung Mulia, 2012) hal 2

[7]   End, Dr. Th. Van den. 2001. Ragi carita 1. Pt Bpk Gunung Mulia, Jakarta. Halaman 22 - 27.

[8]Dr. Muller Kruger Th,  “Sejarah Gereja Di Indonesia” (Djakarta:Badan penerbitan kristen, 1966 )hal 38

[9]  Drs. Moeis Syarif, “Pembentukan Kebudayaan Nasional Indonesia”(FPIPS UPI Bandung: 2009)hal 8

[11] Selain Islam, agama-agama yang diakui secara resmi adalah Katolik, Protestan, Konghucu, Hindu, dan Buddha. Yudaisme tidak diakui. Hindu muncul dalam varian lokal Bali.  Bandingkan Blakker (1993)

Share this:

Post a Comment

Contact Form

Name

Email *

Message *

 
Back To Top
Distributed By Blogger Templates | Designed By OddThemes