Bukti arkeologi tentang keberadaan komunitas Kristen di Asia Tenggara, mungkin Nestorian, di Semenanjung Melayu, Sumatera dan Jawa dapat ditelusuri kembali ke abad ketujuh.[1] Agama Kristen pertama kali datang ke Indonesia pada abad ke-7. Melalui Gereja Asiria (Gereja Timur)[2]. Selama penjajahan Portugis pada abad keenam belas, dan juga pada awal pemerintahan Belanda pada abad ketujuh belas, mayoritas dari mereka yang kemudian ingin menjadi orang Indonesia dipraktekkan agama tradisional mereka. Hindu menang di Bali dan banyak bagian di Jawa; modern, yang berorientasi perdagangan kepangeranan - terutama mereka yang berada di daerah pesisir memiliki adaptasi Islam sebagai sistem aturan sosial dan keagamaan yang memadai. Dominikan, Jesuit, dan berbagai masyarakat misionaris Protestan mulai menyebarkan iman Kristen di antara para penganut agama-agama pribumi. Hal ini secara eksplisit juga melayani tujuan membendung pengaruh Islam. Flores Timur dan kepulauan yang menjadi Katolik,[3] sebagian besar Maluku, Minahasa, dan wilayah Batak Protestan berubah. konsep masyarakat. Pengambil keputusan kolonial tahu bahwa para pemimpin Muslim yang memusuhi mereka, dan mereka menyadari potensi anti-kolonial yang kuat dari Islam.[4]
Hubungan
antara pemerintah kolonial dan masyarakat misionaris berjalan dengan baik yang ditandai oleh kepentingan divergensi
(penyebaran) dan konvergensi (pemusatan). Untuk menghindari masalah dengan umat
Islam Indonesia, kegiatan penginjilan dikontrol dan diatur dengan ketat.
Masyarakat membutuhkan izin misionaris khusus yang dalam setiap kasus hanya
berlaku untuk wilayah yang ditunjuk khusus.[5]
Sebagian
terbesar dari Gereja-gereja di Indonesia yang lahir dan tumbuh antara 1930-1942
mewarisi corak Kekristenan dari "induknya", yaitu corak Kekristenan
kontinental. Mereka ini pada satu pihak masih dipengaruhi oleh corak
Kekristenan dari "induknya" dan pada pihak lain telah belajar dan
berusaha untuk menentukan corak Kekristenannya sendiri. Gereja
Protestan di Indonesia dipengaruhi oleh kebiasaan gereja-gereja di Belanda,
kombinasi votum dan salam adalah kebiasaan yang diambil alih dari gereja-gereja
di Nederland.[6]
Satu abad setelah orang-orang Portugis,
orang-orang Belanda datang ke Indonesia. Mereka adalah orang-orang Kristen
juga, tetapi dengan cara percaya yang lain, karena mereka telah menjadi
pengikut Reformasi, khususnya Reformasi Calvin. Orang-orang Protestan itu
mempunyai organisasi gereja, ibadah dan ajaran yang jauh berbeda dari yang
terdapat dalam Gereja Katolik-Roma. Tidak ada lagi hirarki dalam gereja.
Alkitab harus disebarkan seluas mungkin dalam bahasa yang bisa dimengerti
orang, dan penafsirannya dalam khotbah merupakan salah satu bagian ibadah yang
terpenting. Ibadah tak usah seragam di mana-mana. Negara tidak berada di bawah
gereja, tidak juga di atasnya, tetapi di sampingnya, dan keduanya harus bekerja
sama demi kemajuan kerajaan Allah. Namun demikian, dalam kehidupan
bangsa-bangsa Protestan cara-cara lama masih berpengaruh. Kecenderungan untuk
berpikir menurut kerangka hirarkis tidak begitu mudah hilang dari gereja. Lagi
pula orang-orang Belanda pun berpendapat bahwa gereja mereka mempunyai bentuk
yang paling baik, sehingga lebih aman kalau diikuti saja oleh orang-orang lain.
Sikap-sikap ini akan paling menonjol di daerah-daerah jajahan.[7] Kesejarahan tersebut dilengkapi oleh keterangan dari Dr
Kruger yang dikutip sebagai berikut:
“Tidaklah perlu diuraikan lebih landjut, bahwa pada
zaman ini VOC Geredja di Belandalah jang merupakan ibu-geredja bagi Geredja di
Indonesia. Memang sebenarnja ia tak berkewibawaan apapun atas Geredja di
Indonesia itu. Sudah kita lihat bahwa pemerintah VOC sama sekali tak
meluaskannja dan hampir-hampir tak memberikan suatu kebebasan jang sesungguhnja
kepada Geredja di Indonesia. Mereka djuga tidak banjak memperdulikan
protes-protes serta peringatan-peringatan jang dikeluarkan oleh synode-synode
propinsi di Belanda, jang sekali-sekali mengeluarkan suaranja jang tegas.
Tambahan pula, VOC-lah jang menanggung segala ongkos pengeluaran Geredja dan
djuga tak mengizinkan bahwa oleh pihak lain, misalnja oleh
"ibu-geredja", disediakan wang bagi Geredja di Indonesia.
Segala-galanja harus datang dari pihak pemerintah, ja sebenarnjalah ia ingin
berkuasa atas segala hal. Namun demikian besar djuga pengaruh rohani dari
Geredja di Belanda. Bentuk-bentuk organisasinja, dasar-dasar pengakuan imannja,
ketentuan-ketentuan siasat geredjanja, tjorak-tjorak kehidupan geredjanja, dengan
sendirinja mendjadi djuga tjontoh dan ukuran di Indonesia. Dan pengaruh ini
berlaku seberapa hal itu sesuai dengan maksud-maksud pemerintah serta didalam
keadaan-keadaan jang memungkinkannja di Indonesia. Orang tidak menghendaki
apapun melainkan supaja Geredja di Indonesia ini dibangun "sesuai dengan
aturan djemaat gereformeerd (menurut adjaran Calvin) ditanah air",
sebagaimana dinjatakan oleh wakil pemerintah pada sidang am pertama di Djakarta
tahun 1642.”[8]
Ketika
bangsa Belanda berhasil mendesak bangsa Portugis untuk meninggalkan Indonesia
pada sekitar tahun 1600 M, maka pengaruh agama Katolik pun segera digantikan
oleh pengaruh agama Protestan. Namun demikian, sikap bangsa Belanda yang lebih
lunak di dalam soal agama jika dibandingkan dengan bangsa Portugis, telah
mengakibatkan pengaruh agama Proterstan hanya mampu memasuki daerah-daerah yang
sebelumnya. [9]
Setelah
Indonesia merdeka, yaitu setelah 1945, corak Kekristenan di antara
gereja-gereja di Indonesia semakin bertambah banyak. Hal itu terutama disebabkan
oleh berdirinya beberapa gereja akibat meluasnya denominasi-denominasi jenis
kebangunan atau Injili yang datang dari negara-negara Anglosaksis
(negara-negeara yang berbahasa Inggris). Sehubungan dengan itu tidak
mengherankan bila kemudian lahir dan tumbuh banyak Gereja, misalnya
gereja-gereja rumpun Pentakosta dan gereja-gereja rumpun Kemah Injil.[10]
Ketika Indonesia telah merdeka,
orang-orang Kristen pada awalnya khawatir bahwa kondisi untuk kegiatan
misionaris mereka mungkin memburuk, terutama karena adanya pengulangan
panggilan untuk larangan penyebaran agama Kristen. Namun, situasi ini tidak
berubah setelah penjajahan telah berakhir. Wendelin Waver (1974: 211) telah
menunjukkan kondisi bahwa konstitusi Indonesia sebenarnya diciptakan yang jauh
lebih menguntungkan bagi masyarakat misionaris Kristen daripada di zaman
kolonial. Afiliasi dengan agama monoteistik dunia yang ditetapkan dalam
filsafat negara Indonesia dan wajib bagi setiap warga negara Indonesia. Siapa
yang tidak mematuhi salah satu dari agama-agama ini kemungkinan akan dicurigai
sebagai seorang ateis. Namun, seperti ateisme dipandang sebagai identik dengan
komunisme, yang telah menjadi musuh publik nomor satu sejak kudeta komunis pada
tahun 1965.[11]
[1] Bargil
Pixner, Wege des Messias und Stätten der
Urkirche. Herausgegeben von Rainer
Riesner (Giessen/Basel: Brunnen Verlag, 1991), 287-326; Jerome
Murphy-O’Connor, “The Cenacle–Topographical Setting for Acts 2:44-45.” In The
Book of Acts in Its First-Century Setting. Volume 4: Palestinian Setting, ed.
Richard Bauckham (Grand Rapids: Eerdmans, 1995), 303-321; Bradley Blue, “Acts
and the House Church.” In The Book of Acts in Its First-Century Setting. Volume
2: GraecoRoman Setting, eds. David W.J.
Gill and Conrad Gempf (Grand Rapids: Eerdmans, 1994), 119-222 [134]
[3] Sejarah agama Katolik di Indonesia telah
diterbitkan oleh Muskens (1970, 1973, 1974, 1979) dan Steenbrink (2003);
Müller-Kruger (1957, 1966) dan Hoekema (1994, 2001) menulis mengenai Protestan.
Sebuah sejarah umum Kristen dan Islam telah ditulis oleh Waver (1974); Studi
daerah telah diberikan atau disumbang oleh beberapa penulis. Beberapa dari mereka adalah Aritonang (1988) menulis pada proses
penyebaran agama antara Batak, Dietrich (1989, 1994) dari Flores, Henley (1996)
dari Minahasa, Witschi (1942) pada Dayak Kalimantan dan Smith Kipp-(1990, 1995)
di Karo (-Batak).
5 Hal ini terutama berlaku untuk Katolik yang tiba
dengan Portugis pada abad keenam belas.
[4] Gerakan
Islam anti-kolonial bahkan menggunakan metafora dari Perang Suci. Untuk Aceh
lihat Teuku Ibrahim Alfian (2006), West-Sumatra lihat Taufik Abdullah (1989)
dan Young (1994). Alfian (1994) telah menulis tentang gerakan Islam
Muhammadiyah di bawah pemerintahan kolonial dan Steenbrink (1993) berfokus pada
hubungan antara kolonialisme Belanda dan Islam.
[5] Inilah
sebabnya mengapa Flores, misalnya, menjadi daerah misi murni Katolik, sedangkan
wilayah Batak di Sumatera secara eksklusif ditugaskan untuk misionaris
Protestan.
[6] Abineno, J.L.C.H, “Unsur-unsur Liturgia Yang Dipakai
Gereja-gereja Di Indonesia” (Jakarta: Gunung Mulia, 2012) hal 2
[7] End, Dr.
Th. Van den. 2001. Ragi carita 1. Pt Bpk Gunung Mulia, Jakarta. Halaman 22 -
27.
[8]Dr. Muller Kruger Th, “Sejarah Gereja Di Indonesia” (Djakarta:Badan
penerbitan kristen, 1966 )hal 38
[11] Selain Islam, agama-agama yang diakui secara resmi
adalah Katolik, Protestan, Konghucu, Hindu, dan Buddha. Yudaisme tidak diakui.
Hindu muncul dalam varian lokal Bali. Bandingkan Blakker (1993)
Post a Comment