BREAKING NEWS

Monday, April 13, 2015

Terbentuknya Tradisi Gereja Mula-mula



Perjalanan hidup mereka (Para Rasul) dalam pelayanan berdiri kepada kesaksian tentang Kristus, Mesias Israel dan Juruselamat dunia. Melalui Para Rasul telah memilih untuk mengambil Yerusalem sebagai titik fokus penebusan-historis, yang memungkinkan dalam mendapatkan pandangan Injil, karena diproklamasikan dan diteruskan selama periode apostolik[1]
Penelitian terhadap informasi geografis dan topografi yang diberikan dalam Kitab Kisah Para Rasul, judul pribadi, dan rincian lainnya semakin menegaskan, setelah beberapa skeptisisme awal, bahwa Lukas dengan susah payah melakukan pekerjaan ini dengan hati-hati. Ia  memiliki gaya sunting wacana para rasul, namun tanpa merugikan keaslian konten mereka. Dengan demikian, Lukas mengikuti memimpin dari sejarawan Yunani Thucydides  (dengan karya catatannya tentang Perang Peloponnesia), menetapkan standar penulisan historiografi.[2]   
Dalam Kitab Kisah Para Rasul diceritakan mengenai kehidupan jemaat sehari-hari. Melalui dua ikhtisar yang singkat, hidup orang Kristen pertama digambarkan. Salah satu ikhtisar itu  terdapat dalam (Kisah Para Rasul 4:32). Gambaran yang diberikan Lukas (penulis Kisah Para Rasul) ini, tidak dapat dipakai begitu saja sebagai informasi historis. Gambaran ini adalah gagasan Lukas, yang menggambarkan  kehidupan jemaat yang seharusnya. Agaknya Lukas telah memperkembangkan suatu peristiwa yang khusus, seperti Barnabas yang menyumbangkan miliknya itu, menjadi suatu gambaran jemaat purba secara umum. Mungkin kehidupan sebenarnya dari jemaat purba kurang sesuai dengan gambaran ideal ini.
 Seperti nampak dari cerita mengenai Ananias dan Safira (Kis 5:11), maka penyerahan segala milik bukanlah perbuatan yang biasa. Malahan Petrus menekankan bahwa mereka berhak memanfaatkan hasilnya sesuai dengan kehendak mereka (ay. 4). Wycliffe menafsirkan pada (ayat 32-37) berisi suatu ringkasan yang lain tentang sifat persekutuan Kristen yang mula-mula itu yang serupa dengan yang terdapat di dalam (Kis 2:42-47). Salah satu ciri khas yang menonjol dari gereja yang dipenuhi Roh ini ialah kesatuan, suatu rasa bersatu yang termanifestasikan dalam saling membagi kekayaan materi.[3] Dalam Perjanjian Baru sikap tradisi dapat terlihat dua kali lipat, yaitu penolakan terhadap tradisi tua-tua Yahudi dan bersama-sama dengan tradisi manusia lainnya (Mt. 15:1-9; Mk. 7:1-13; Gal. 1:11-17; Kol. 2:8.). Pada saat yang sama terdapat tradisi apostolik baik oleh iman Kristen seperti yang diproklamasikan dan yang ditularkan oleh para rasul dan rekan-rekan mereka (1 Kor. 11:2,23; 15:3; 2 Tes. 2:15; 3:6; 2 Tim. 2:1).[4] Tradisi Gereja selama Apostolic Age adalah masalah yang sangat penting karena sebagian besar dari  ritual Kristen tergantung pada tradisi ini. Tradisi Apostolic meliputi  hidup para Rasul, melihat, menyaksikan dan kemudian dicatat dalam kitab-kitab Perjanjian Baru. Para uskup dan penatua, Rasul siapa ditunjuk sebagai penerus mereka, mengikuti ajaran mereka.[5]



[1]  James D.G. Dunn, Beginning from Jerusalem (Grand Rapids: Eerdmans, 2009)

[2]  Armin Daniel Baum, Pseudepigraphie und literarische Fälschung im frühen Christentum (Tübingen: Mohr Siebeck, 2001). Thucydides  (lahir 460 SM –  wafat 395 SM) adalah seorang sejarawan Yunani dan penulis dari alimos sebuah daerah di wilayah Yunani. Bukunya yang berjudul Sejarah Perang Peloponnesia (The History of Peloponnesian War) menceritakan perang abad 5 sebelum masehi antara Sparta dan Athena. Melalui bukunya tersebut, Thucydides telah dijuluki bapak “sejarah ilmiah”, karena standar yang ketat tentang bukti pengumpulan dan analisis dalam hal sebab dan akibat tanpa mengacu pada intervensi oleh para dewa, seperti buku-buku sejarah lainnya dari era yang sama. Sebagai seorang teoretikus realisme dalam HI (Hubungan Internasional), Thucydides memberikan empat kategori mengenai realisme.
(1) Sifat manusia adalah titik awal untuk realisme dalam hubungan internasional. Realis melihat manusia sebagai dasarnya egois dan mementingkan diri sendiri sejauh kepentingan pribadi mengatasi prinsip-prinsip moral. (2) Kaum Realis secara umum percaya bahwa tidak ada pemerintah dan kondisi hubungan internasional selalu dalam kondisi anarkis, (3)  Karena kondisi hubungan internasional selalu dalam kondisi anarkis, untuk mencapai keamanan, negara berusaha meningkatkan kekuasaan mereka dan terlibat dalam kekuasaan-balancing untuk tujuan menghalangi agresor potensial. Perang ini dilancarkan untuk mencegah negara peserta dari menjadi lebih kuat secara militer  (4) Realis umumnya skeptis tentang relevansi moralitas dalam politik internasional. Hal ini menyebabkan mereka mengklaim bahwa tidak ada tempat bagi moralitas dalam hubungan internasional, atau bila ada ketegangan antara tuntutan moralitas dan tuntuan aksi politik yang amoral maka negara boleh bertindak sesuau dengan moralitas mereka sendiri yang berbeda dari moralitas yang secara umum dianut.

[4]  A.N.S. Lane, “Scripture, Tradition and Church: An Historical Survey,” Vox Evangelica 9 (1975): 37-55.

Share this:

Post a Comment

Contact Form

Name

Email *

Message *

 
Back To Top
Distributed By Blogger Templates | Designed By OddThemes